Welcome Guys

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Memahami Tasawuf

Written By Ella on Jumat, 29 Oktober 2010 | 20.41

Tasawuf atau istilah lainnya yaitu sufistik seringkali digambarkan sebagai suatu kehidupan yang menyerupai kerahiban, pertapaan atau uzlah serta menjauh dari kehidupan duniawi.



Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah? Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.


Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. 
Tasawuf dimaksudkan sebagai  tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al- Anshari mendefiniskan.


Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam Al-Qur’an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\’in dan hal ini tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.


Kenapa gerakan tasawuf baru muncul pasca era Shahabat dan Tabi\’in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.


Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialism belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalui ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq Ketika kekuasaan Islam makin meluas.


Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. 
Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. 


Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah.


Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’(meneladani Rasulullah), dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.


Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullah, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”



Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah, memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya.



Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah, pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad).



Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunnah Rasulullah, Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunnah Rasulullah. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yang mengikuti sunah Rasulullah sama sekali tidak bid’ah.



Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah  tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah  dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.



20.41 | 5 komentar | Read More

Jilbab, Budaya Arab atau Kewajiban ?

Written By Ella on Selasa, 26 Oktober 2010 | 21.47

Jilbab masih saja di perdebatkan di kalangan umat islam sendiri khususnya di negara kita, pendapat pertama jilbab adalah wajib, sedangkan pendapat kedua mengatakan  bahwa jilbab nggak wajib, berjilbab bukan kewajiban islam sebagaimana sholat, tapi jilbab hanya sekedar budaya Arab.

Sekarang mari kita telah tentang dua pendapat ini, yang berpendapat wajib tentu menyandarkan pendapatnya pada sumber hukum islam yakni Al-Quran Surat Al-Ahzab 59 : "Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."





Ayat ini disusul pula oleh Alquran surat An-Nur ayat 31. "Hendaklah mereka menutup khimar atau kerudung ke dada mereka".


Kedua ayat di atas sudah jelas menunjukkan perintah berjilbab bagi wanita muslim,  namun ada juga yang berpendapat lain bahwa berjilbab bukan kewajiban, tapi jilbab adalah budaya Arab, benarkah hal itu ?


Untuk lebih jelasnya mari kita lihat sejarah perkembangan budaya di tanah Arab sebelum Rasulullah di utus, pada beberapa riwayat disebutkan bahwa wanita-wanita di era jahiliyah (sebelum islam datang), mereka suka berpakaian panjang (jilbab atau semacam gamis) sedangkan bagian dada dan lehernya tetap terbuka, mereka juga suka memakai kerudung tapi kerudungnya hanya dibiarkan menjuntai kebelakang, kalau kita mau melihat gambarannya seperti Putri Yasmin dalam Kisah Aladin, atau kayak penari belly dance, yang bajunya panjang tapi keliatan pusernya.


Lalu ketika islam datang dengan diutusnya Rasulullah Sallahualaihi Wasallam, maka diperintahkan  bagi wanita-wanita mukmin untuk menjulurkan atau menyempurnakan pakaian mereka agar menutupi seluruh tubuh mereka, dan menutupkan kerudung ke dada mereka.


Jadi dari penjelasan diatas dapat kita lihat bagaimana perbedaan antara kebudayaan Arab dan ajaran Islam, Islam datang bukan hendak merubah budaya yang ada namun islam datang untuk menyempurnkan budaya yang ada sehingga tercipta masyarakat yang memiliki peradaban dan akhlak yang tinggi.


Jangan karena islam pertama kali di turunkan di Arab lalu kita berkesimpulan bahwa budaya Arab adalah budaya islam, tidak semuanya begitu, budaya di negara manapun jika memang sesuai dengan islam dalam artian tidak melanggar aturan-aturan halal dan haram serta kaidah-kaidah dalam islam, maka kita boleh melestarikannya, namun jika budaya tersebut sudah keluar dari koridor ajaran islam maka disinilah ajaran  islam sebagai "pengkritik" menyuruh kepada pengikutnya untuk membuang jauh-jauh budaya tersebut.


Dan kalau seumpamanya Islam pertama kali turun di Indonesia, pasti lah cara berpakaian wanita zaman doeloe khususnya di Jawa yang suka pakai "Kemben" (istilah jawa : untuk pakaian wanita yang hanya sebatas dada) bakalan dirombak habis.



Jadi, bukan budaya yang membentuk agama, tapi agamalah yang menjadi inspirasi dari lahirnya budaya-budaya yang lebih beradab.
Sebagai contoh, coba kita tengok suku asmat di pedalaman irian jaya, mereka jauh bahkan tidak mengenal sama sekali mengenai ajaran islam, dan kita bisa lihat bagaimana kehidupan mereka yang jauh dari peradaban yang tinggi.


Lalu bagaimana dengan model jilbab, apakah harus serba hitam persis seperti yang biasa dipakai di wanita-wanita di Saudi Arabia, dalam hal ini saya berpendapat lebih terbuka, bahwa tidak selalu kita meniru model berpakaian mereka, karena Al-Qur'an sendiri tidak secara detail menerangkan tentang suatu model pakaian, dan dari sini pula ruang budaya yang sesuai dengan kultur masing-masing negara mengambil perannya, dan itu syah-syah saja selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat islam.


Boleh setuju, boleh tidak, karena ini hanya pandangan saya yang masih kurang ilmunya.
Kritik dan saran, sangat saya harapakan untuk kita sama-sama belajar.
21.47 | 11 komentar | Read More

Gaji Presiden Vs Gaji Khalifah

Written By Ella on Sabtu, 23 Oktober 2010 | 21.30

Beberapa waktu yang lalu sempat tersiar kabar bahwa gaji PNS akan dinaikkan lagi, entah sudah berapa kali ya..selama masa Pemerintahan kita yang sekarang, dilakukan kebijakan kenaikan gaji PNS plus gaji ke-13, aku sih cuma bisa geleng-geleng kepala, Gaji PNS beberapa kali naik sementara gaji karyawan swasta apalagi buruh susah naiknya.



Itu baru gaji PNS, belum lagi gaji presiden dan anggota DPR, menurut info yang saya dapat gaji presiden mencapai 62 juta per bulan, jadi sehari kira-kira 20 juta, kalau untuk kebutuhan keluarga normal, gaji segini sudah lebih-lebihlah.
Ada beberapa alasan yang mendasari kenaikan gaji tersebut, diantaranya untuk meningkatkan kinerja, untuk mencegah korupsi dan masih banyak lagi dali-dalih yang nggak rasional. Dan kalau ada yang protes soal kenaikan gaji, biasanya jawaban klisenya karena sudah dianggarkan pada RAPBN tahun sebelumnya. (memangnya kalau sudah dianggarkan, nggak bisa diubah ya.., toh yang bikin anggaran kan manusia bukan Tuhan,  hiiii...)



Nah....sekarang saya mau mendongeng, eh..bukan dongeng sih...., tapi cerita sejarah (kalau dongeng ntar malah ketiduran ..), ceritanya begini :



Alkisah pada suatu hari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz disediakan makanan oleh Istrinya yang beda dari biasanya. Saat itu tersedia sepotong roti yang masih hangat, harum dan wangi, tampak roti itu begitu lezatnya hingga membangkitkan selera.
Sang Khalifah merasa heran dan bertanya pada Istrinya: “ Wahai Istriku dari mana kau memperoleh roti yang harum dan tampak lezat ini ? “.
Istrinya menjawab “Ooh itu buatanku sendiri wahai Amirul Mukminin, aku sengaja membuatkan ini hanya untuk menyenangkan hatimu yang setiap hari selalu sibuk dengan urusan negara dan umat“.
Lalu Sang Khalifah bertanya lagi :“ Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini “.
Sang istri mejawab :“ Hanya 3,5  dirham saja, kenapa memangnya?"
Sang Khalifah berkata :“ Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang akan masuk ke dalam perutku ini, agar aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT nanti “ , lalu kemudian khalifah bertanya lagi : "terus uang yang 3,5 dirham itu kau dapatkan dari mana ? “.


Lalu Istrinya menjawab :“Uang itu saya dapatkan dari hasil penyisihan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku , jadi dalam seminggu terkumpulah 3.5 dirham dan itu cukup untuk membuat roti seperti ini yang halalan toyyiban"


Lalu Khalifah berkata :“ Baiklah kalau begitu. Saya percaya bahwa asal usul roti ini halal dan bersih, dan itu berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yg membuat kita mampu memakan roti yang lezat di atas tanggungan umat “.


Kemudian Khalifah memanggil Bendahara Baitul Maal (Kas Negara) dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham. Dan Khalifah berkata kepada istrinya “ saya akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi “. 


Dari cerita diatas kita dapat mengambil teladan bagaimana sang khalifah atau sang presiden kalau zaman sekarang, begitu berhati-hati untuk tidak memakan melebihi dari apa yang menjadi kebutuhan pokok keluarganya sehingga beliau tidak mau membebani rakyatnya dengan gajinya yang 3,5 dirham dan mengurangi 1/2 dirham dari gajinya, yang telah melebihi kebutuhan keluarganya. (kalau cukup 3 dirham sehari, mengapa harus 3,5 dirham)



Yah...Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, sosok pemimpin ideal yang dalam kurun waktu 2 tahun 5 bulan, telah berhasil membawa negerinya, menjadi negeri yang makmur, sehingga Baitul Mal (Kas Negara) menjadi penuh  dengan harta zakat karena tiada lagi  rakyatnya yang mau menerima zakat . Lalu bagaimana dengan para pemimpin kita sekarang ????

21.30 | 9 komentar | Read More

Budayakan Berkomentar Setelah Membaca

Written By Ella on Jumat, 22 Oktober 2010 | 20.31

"Budayakan Berkomentar Setelah Membaca", tulisan yang sangat menggelitik yang saya dapat waktu blog walking ke Blog Tip Trik Blogger. Tulisan ini terletak tepat di atas kotak komentar blog tersebut. Kenapa hal ini menjadi perhatian saya, karena kata-katanya singkat, jelas dan cukup menohok (kalau boleh saya bilang), yah...benar sekali "Budayakan Berkomentar Setelah Membaca", kalimat tersebut bisa berarti dua makna, yang pertama agar setelah membaca postingan kita diharapkan untuk berkomentar, dan makna kedua bisa jadi berkomentarlah setelah membaca suatu posting, dan ini berkaitan dengan keterampilan  membaca seseorang.





Seringkali kita dapati suatu komentar yang hanya sekedar pujian atau tidak relevan dengan isi postingan. Bahkan ketika berkomentar pada suatu postingan artikel yang singkatpun, seringkali saya lihat tidak mewakili apa yang tertulis di sebuah postingan artikel....jadi ya mudahnya asal komentar saja, bahkan kurang bisa menangkap isi pesan yang disampaikan dalam sebuah artikel, terutamanya untuk artikel-artikel yang kalau kita baca mengharuskan kita untuk mengernyitkan dahi, bisa jadi alasannya karena nggak sempat baca seluruh postingan, karena terburu-buru untuk membalas seluruh komentar yang masuk di blognya.


Tidak semuanya sih...tapi ada juga beberapa yang seperti itu, hal ini  juga menunjukkan rendahnya minat baca  masyarakat di negara ini, dan menurut temuan UNDP, Indonesia hanya masuk peringkat 96 dalam minat baca, dan untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati urutan kedua dari yang terbawah, sungguh memprihatinkan.



Berbeda dengan Jepang yang masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi, sehingga hampir di setiap ada kesempatan atau waktu luang mereka pergunakan untuk membaca. Bahkan untuk menumbuhkan minat baca sejak dini di Jepang, para Ibu membiasakan anaknya untuk membaca selama 20 menit sebelum tidur. Sedangkan  masyarakat negeri kita, kebanyakan waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk ngerumpi, atau nonton sinetron, atau mungkin Gosip-gosip selebritis (hiiii...).


Dan ternyata tingginya minat baca berpengaruh pada kemajuan dan perkembangan suatu bangsa. Islam juga sangat menganjurkan budaya membaca, bahkan surat pertama yang turun, Surat Al-Alaq memerintahkan manusia untuk membaca :
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.." (Al-Alaq 1-4)


Dan jika kita tilik kembali sejarah kejayaan islam, banyak sekali melahirkan ulama-ulama besar  seperti : Al-Ghozali, Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, Bukhori, Muslim, dan lain-lain yang telah menghasilkan beratus-ratus jilid buku yang memperkaya khasanah keilmuan, dan ini semua berawal dari budaya membaca.


So..kawan...tingkatkan minat baca,




20.31 | 5 komentar | Read More

Awas Perang ....!!!!

Written By Ella on Selasa, 19 Oktober 2010 | 22.52

Wuih gawat..kita sekarang lagi diperangi, hah..masak sich.., tapi kok aman-aman saja ya..., itu pasti yang kita fikirkan dan yang bakalan keluar dari mulut kita kalau kita dibilangin sama seseorang bahwa kita lagi diperangi.



Yup...bener banget sob...kita khususnya umat islam benar-benar lagi diperangi, tapi perangnya bukan cuma perang antara zionis Israel dan Rakyat Palestina loh..., tapi ada bentuk peperangan lain yang sedang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam terhadap Umat islam, yaitu PERANG PEMIKIRAN atau istilah Arabnya GHOZWUL FIKRI. (baru nyadar kan...).
Wah...ada lagi tuh yang namanya perang pemikiran, nah..untuk lebih jelasnya akan saya terangkan sedikit mengenai apa itu definisi dari Ghozwul fikri atau perang pemikiran.(sudah serius lagi nih..)








  • Secara bahasa








Ghozwul fikri terdiri dari dua kata : ghozwah dan fikr. 
Ghozwah berarti serangan, serbuan atau invasi. 
Fikr berarti pemikiran. 
Serangan atau serbuan di sini berbeda dengan serangan dan serbuan dalam qital (perang).


 




  • Secara istilah








Penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran ummat Islam guna merubah apa yang ada di dalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal-hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal-hal tak islami. (maksudnya perang pemikiran terhadap umat islam sehingga umat islam semakin jauh dari ajaran islam yang sebenarnya)


Setelah baca definisi diatas, perlu kita sadari sebagai umat islam bahwa kita sedang diperangi, perang macam  gini memang tidak menumpahkan darah, dan tidak pakai angkat senjata, tapi justru perang seperti ini sangat berbahaya dan dampaknya bisa berjangka panjang sampai ke anak cucu kita. Bahkan kita yang diperangi tidak merasa bahwa kita sedang diperangi sehingga kita jadi kurang waspada dan merasa aman-aman saja. Bahkan tanpa sadar kita umat Islam juga mendukung bentuk-bentuk perang pemikiran ini.


Trus pertanyaannya sekarang, bagaimana sih bentuk-bentuk perang pemikiran itu ?


Ternyata bentuk perang pemikiran ini bisa bermacam-macam, biasanya media yang digunakan adalah media-media komunikasi seperti : Televisi, Radio, Koran, majalah, bahkan Internet. 
Contohnya nih..program-program yang bertujuan merusak akhlak generasi muslim baik anak-anak, pemuda maupun dewasa.  Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Dengan cara itu mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang generasi islam berkiblat kepada mereka. 


Contoh lain yaitu perusakan pola fikir dengan memanfaatkan media yang ada, baik cetak maupun elektronik, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum Muslimin. Seringkali mereka menyematkan gelar seperti teroris, fundamentalis, ekstrimis, islam garis keras, dll kepada kaum muslimin. Sehingga kita jadi takut untuk belajar islam yang sebenarnya karena takut di cap sebagai penganut islam garis keras, radikal, atau bahkan di cap sebagai teroris. 


Sekarang coba kita tengok lagi kenyataan yang ada dimasyarakat kita, kalau ada seorang muslim yang memakai celana diatas mata kaki dan berjenggot (padahal ini sunnah Rasul), maka orang tersebut bakalan di cap islam garis keras. atau kalau kita bertemu dengan muslimah yang berjilbab lebar atau bercadar maka kita akan segera mencapnya sebagai "ekstrimis", padahal ini adalah ajaran islam yang sebenarnya.


Beginilah cara-cara yang dilakukan oleh musuh-musuh islam untuk mengalahkan umat islam, bukan lagi dengan peperangan dengan senjata, namun dengan perang pemikiran yang akan menjauhkan umat islam dari ajaran islam yang sebenarnya sehingga umat islam menjadi lemah dan mudah dikalahkan.


Semoga wacana diatas dapat membuka fikiran kita dan menjadikan kita lebih waspada dengan perang pemikiran yang sekarang sedang gencar di jalankan. Dan semoga kita dapat menjaga diri dan keluarga kita dari bahaya perang pemikiran yang akan menjauhkan kita dari nilai-nilai islam dengan lebih bersungguh-sungguh lagi untuk mempelajari islam serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari kita.


Allahu Akbar !!!!!


22.52 | 7 komentar | Read More

Pantaskah Soeharto Mendapat Gelar Pahlawan Nasional ?

Written By Ella on Senin, 18 Oktober 2010 | 21.56

Berita terhangat yang lagi in saat ini adalah berita tentang akan diberikannya Gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh nominator di antaranya Mantan Presiden Indonesia Bapak Soeharto.

Jika kita baca di media-media banyak sekali yang pro dan kontra tentang pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Bapak Soeharto, dari kalangan HMI dan ICW yang menolak rencana pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, dengan alasan bahwa jasa-jasa Beliau selama membangun Bangsa telah terkotori oleh preseden buruk yang mana Soeharto dikenal juga sebagai Bapak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pahlawan adalah orang yang pemberani dalam mengorbankan jiwa dan raga untuk membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.

  
Kalau Soeharto sendiri pantaskah jika Beliau disebut sebagai Pahlawan, mengingat di satu sisi Beliau berjasa pada Bangsa dan negara ini, walaupun begitu Soeharto juga tak dapat dipungkiri dalam masa kekuasaannya selama 32 tahun ternyata juga banyak sekali terlibat KKN, untuk memperkaya diri, keluarga serta kroni-kroninya.


Bagaimana menurut sobat ?
21.56 | 6 komentar | Read More

Apa Motifasi Menulismu ?

Written By Ella on Minggu, 17 Oktober 2010 | 21.48

Menulis, baik itu menulis artikel, cerpen, opini atau bahkan blogging,  merupakan ekspresi dari daya pikir serta daya khayal manusia.

Ada banyak hal yang memotivasi seseorang untuk menulis. Ada yang karena hobi, ada juga yang karena tuntutan misalnya untuk menyelesaikan tugas -tugas sekolah ataupun kuliah.
Sebelum bicara lebih lanjut tentang motifasi menulis, ada beberapa motif yang mendasari seseorang untuk menulis. Motif-motif inilah yang menjadi dasar atau penggerak awal bagi setiap orang untuk melakukan suatu aktifitas dan inilah yang di sebut dengan motifasi.
Dalam buku yang berjudul Al-Quwwah Ar-Ruhiyah-nya Ustadz Faqih Syarif,  ada beberapa motifasi  yang menjadi penggerak awal seseorang untuk melakukan suatu aktifitas termasuk di dalamnya aktifitas menulis. Ada yang bergerak karena motivasi materi (al-Quwwah al-Madiyyah), ada yang bergerak karena motivasi emosi (al-quwwah al-Ma'nawiyah) dan ada juga yang bergerak karena motivasi spiritual (al-Quwwah al-Ruhiyah).



Lalu sekarang pertanyaannya, apa yang menjadi motivasi kita dalam menulis. Karena yang menulis adalah kita, maka untuk mengetahui motivasi apa yang melandasi kita dalam menulis adalah dengan bertanya pada diri kita sendiri ; Kenapa kita harus menulis ?


Dari pertanyaan diatas pasti akan ada banyak jawaban yang bisa kita peroleh. Ada yang mengatakan bahwa saya menulis karena ingin mengekspresikan diri, ada yang karena hobi, ada yang karena supaya mendapatkan uang, atau mungkin prestise dan penghargaan. 
Wajar-wajar saja kalau kita mendapat jawaban yang bermacam-macam seperti tersebut diatas, namun marilah kita lebih memperhatikan lagi secara jeli bahwa menulis banyak memberikan manfaat bagi kita, sehingga kita dapat menentukan apa yang menjadi motifasi kita dalam menulis, bukankah setiap amal perbuatan tergantung dari niatnya (motifasinya).


Adapun manfaat dari menulis dapat saya terangkan secara singkat pada paragraf berikut ini :


1. Menulis adalah Mengikat Ilmu
Menulis sangat berguna untuk mengikat ilmu. Dalam hal ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa Ilmu itu bagaikan binatang buruan dan tulisanlah yang menjadi tali pengikatnya. Maka ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Karena hanya orang bodohlah yang mendapatkan binatang buruan lantas ia membiarkannya bebas berkeliaran.
Kata-kata tersebut mengambarkan bagaimana pentingnya menulis bagi perkembangan keilmuan.


Dengan dituliskannya ilmu, akan meminimalisir hilangnya ilmu, sehingga manusia secara turun temurun terus dapat memperoleh manfaat dari suatu ilmu dengan kita menuliskannya. 


2. Menulis adalah berbagi
Selain itu menulis adalah membagikan, ketika kita menulis dan mempublikasikannya ke orang banyak, maka secara sadar atau tidak kita telah berbagi, baik itu membagikan informasi, pengalaman, ilmu, pendapat atau argumentasi dll.


Dan kalau kita senang berbagi ilmu, bukan berarti bahwa ilmu kita akan menjadi habis, namun justru sebaliknya barangsiapa yang memberi (berbagi) maka dia akan memperoleh balasan beberapa kali lipat banyaknya. Jadi kalau kita suka berbagi ilmu maka Insya Allah ilmu kita akan semakin bertambah.


Hal ini telah di jelaskan secara panjang lebar di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 261 yang artinya :
"Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. dan pada setiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi siapa yang Ia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunianya lagi Maha Mengetahui."


3. Menulis adalah berdakwah bil Qolam
Kehidupan islam adalah kehidupan dakwah, lantas apa kaitannya dakwah dengan menulis. Jika kita suka membaca karya - karya besar ulama-ulama islam atau mungkin novel-novel yang bernafaskan islam,  dengan membacanya  kita akan memperoleh inspirasi agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Maka tidaklah heran jika menulis dapat dijadikan salah satu corong dakwah yang efektif.


Sebenarnya masih banyak sekali keuntungan yang kita dapat dari menulis, dan apa yang saya sebutkan diatas hanyalah garis besar saja dari apa yang bisa kita dapatkan dari menulis.


So...sobat tentukan apa motifasi menulismu, dan semoga ringkasan singkat diatas dapat menjadi sumber inspirasi dan nafas baru yang dapat memotifasi kita semua dalam menulis.


21.48 | 3 komentar | Read More

Cinta Apakah Harus Memiliki ?

Written By Ella on Sabtu, 16 Oktober 2010 | 22.21

Mengawali postingan artikel berikut, aku jadi teringat pada kata yang seringkali kita dengar bahwa cinta itu tak selalu harus memiliki. 
Seringkali pertanyaan itu terngiang dalam fikiranku, apakah cinta itu harus saling memiliki atau enggak ya ?
Dan setelah melalui pergulatan pemikiran dan perenungan serta menilai dari beberapa pengalaman baik pengalaman pribadi maupun pengalaman yang di dapat dari cerita teman-teman serta orang-orang yang terlibat cinta dan asmara, maka saya berkesimpulan bahwa mencintai dan memiliki adalah suatu hal yang berbeda. Kira-kira bedanya dimana ya?


Begini sob...kalau menurut saya pribadi bukan dari hasil survey ataupun metode penelitian yang valid, mencintai dan memiliki merupakan hal yang berbeda. 
Cinta adalah rasa, dan mencintai adalah suatu hal yang manusiawi dan merupakan kodrat manusia. Sedangkan memiliki (dalam artian satu ikatan pernikahan) maka itu semua adalah mutlak ditentukan oleh Allah SWT sebagai Sang Pemilik dan Pengatur seluruh jagat raya dan seisinya. 


Kadang kala sering kita menemui orang yang patah hati, strees, bahkan nekat bunuh diri gara-gara cintanya tak kesampaian. Cinta yang disertai keinginan untuk memiliki atau harapan agar bersama dengan orang yang kita cintai itu merupakan hal yang wajar-wajar saja selama keinginan itu pada batas yang tentu saja bahwa di atas semua keinginan serta harapan kita ada Sang Khalik yang telah menakdirkan siapa yang akan menjadi jodoh kita nanti. Tetapi akan menjadi sangat menderita batin seseorang, jika mencintai diikuti obsesi untuk dapat memiliki orang yang dicintai tersebut. Inilah yang namanya cinta obsesif, cinta yang bukanlah lagi merupakan perasaan yang indah namun cinta yang seperti ini telah menjadikan sang pecinta menjadi menderita batinnya ketika tidak dapat memiliki orang yang dicintainya, ibarat kisah cinta Layla dan Majnun.


Memang tidaklah mudah untuk menset hati dan fikiran kita pada tataran diatas, namun dengan kedewasaan berfikir dan memahami bahwa apa yang di dunia ini bukanlah milik kita seutuhnya. Sekuat apapun perasaan cinta kita pada seseorang atau sehebat apapun bentuk komitmen kita pada cinta yang ada, semuanya tentu tidak dapat mengalahkan skenario Sang Maha Kuasa, so...wahai para pecinta, cintailah sang cinta  dengan sewajarnya namun jika cinta itu pergi tak perlu hati kita menjadi mati.


Dan semoga Allah  menyatukan hati-hati para pecinta, karena tiada yang lebih indah dari orang yang saling mencinta kecuali bersama dengan yang dicinta.



Bagaimana menurut pendapat sobat semuanya ?


22.21 | 2 komentar | Read More

Cinta dan Romantisme

Written By Ella on Jumat, 15 Oktober 2010 | 21.07

Tanpa sadar seringkali kita salah mengartikan antara cinta dengan fikiran-fikiran romantis. Jika kita melihat iklan-iklan yang selalu dipertontonkan,  serta sinetron-sinetron yang bertemakan cinta, sekan-akan memberikan persepsi  bahwa cinta adalah romantisme belaka, dan penggambaran ini sangat terlihat sebagaimana ketika dua sejoli yang tampan dan cantik, saling berbagi kasih sehingga semuanya tampak begitu sempurna. Hampir setiap saat kita selalu di husung dengan fikiran-fikiran keindahan dan romantisme sebagai bentuk dari cinta. Iklan di televisi yang selalu menampilkan cinta dalam bentuk seikat mawar, atau sekotak coklat serta syair-syair cinta yang diperdendangkan membentuk imajinasi kita tentang cinta yang begitu indah bagaikan istana di atas awan.



Kita begitu menyukai suatu hal yang berbau romantisme, seakan-akan cinta adalah hanyalah sebuah bentuk romantisme belaka, dari seikat mawar, sebuah cincin berlian, ataupun pasangan tajir yang bisa memenuhi segala keinginan kita. Apakah ini sebuah cinta, apakah cinta identik dengan apa yang bisa kita dapat dari orang yang kita cinta ? pernahkah dalam hati kita untuk terbersit mencintai seutuhnya bukannya hanya kelebihannya tapi juga  kekurangannya.



Mencintai bukan fikiran romantisme, mencintai adalah menerima apa adanya bukan menuntut kesempurnaan. Mencintai adalah satu paket, kita tidak mungkin mencintai wajah imutnya tapi tidak suka akan sifat childishnya, kita tidak mungkin mencintai dada bidangnya tapi membenci kebiasaannya yang suka duduk nongkrong bersama teman segenk-nya, ataupun mungkin kita mencintai seorang aktifis tapi kita membenci apabila dia seringkali lebih banyak waktu untuk kepentingan organisasinya. Mencintai bukan mengharapkan sesuatu yang lebih dari orang yang kita cintai. Mencintai adalah tanpa syarat, ikhlas menerima akan kelebihan dan kekurangannya. Mencintai berarti menerima segala konsekuensi apabila kita bersamanya.


Yah....fikiran-fikiran romantis akan pasangan kitalah yang akhirnya membuat kita terpuruk dan hilang perasaan cinta  kita padanya begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kita tidak pernah mencintai dia apa adanya, namun  apa yang kita cintai adalah imajinasi kita serta impian-impian indah kita tentang dia.
 
Cinta bukan di awang-awang, cinta bukan impian akan keindahan, cinta berpijak dibumi, cinta adalah realita, bukan imajinasi yang kita bentuk sendiri, cinta  tidak hanya menerima kelebihannya, tapi memaklumi akan segala kekurangannya, serta segala konsekuensi apabila kita memilihnya.
Jika kau ingin mencintai maka buanglah segala fikiran romantis dan keindahan tentang pasangan kita, lihatlah dia apa adanya, karena dia dicipta bukan untuk dituntut kesempurnaannya, namun dia dicipta untuk  kita  agar kita menerimanya, untuk dapat saling melengkapi sehingga semuanya akan menjadi sempurna.
21.07 | 2 komentar | Read More

Pacaran Dalam Kacamata Islam.

Written By Ella on Rabu, 13 Oktober 2010 | 20.58

Pacaran suatu hal yang sudah lazim di zaman sekarang, terutama di kalangan muda atau ABG, justru yang malah dianggap aneh kalau ada anak ABG yang nggak pacaran. Bicara soal pacaran tentu nggak terlepas dari yang namanya masalah cinta, dengan alasan inilah maka para muda mudi berjanji setia untuk saling berbagi kasih dengan si dia (cieee....) bahkan sampai ada yang rela mempertaruhkan kegadisan dan keperjakaannya hanya atas dasar cinta semata.


Lalu sekarang bagaimana masalah pacaran ini jika kita tilik dari hukum islam. Tapi sebelum kita bicara lebih jauh perlu kita lihat dulu motifasi apa yang mendasari seseorang untuk berpacaran.



Kalau masih ABG tentu belum kefikiran untuk menikah lha wong masih pelajar, tapi banyak diantara mereka yang juga pacaran walaupun belum tentu akan menikah alasannya klise saja, aku suka sama dia dan dianya juga suka sama aku ,tembak, jadian dan pacaran.


Alasan yang kedua orang berpacaran adalah untuk lebih mengenal pribadi masing-masing sebelum akhirnya mereka berdua menemukan saling kecocokan untuk kemudian menikah. Ini biasanya terjadi pada orang-orang yang sudah cukup matang usianya untuk menikah.


Nah...sekarang kita lihat dalam literatur islam bahwa seorang pemuda diharuskan untuk menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan termasuk perempuan yang bukan muhrimnya. Lalu kemudian ada juga dasar lain yaitu janganlah engkau mendekati zina. Mendekati saja nggak boleh apalagi melakukan. Hal-hal yang saya sebutkan dimuka, yang dijadikan suatu tolak ukur dalam memandang pacaran dari kacamata ajaran islam.


Lalu kita lihat sekarang fakta yang ada, yang namanya aktifitas pacaran tentu nggak lepas dari yang namanya janjian buat ketemuan, jalan berduaan, gandeng tangan, pelukan, ciuman bahkan sampai mengarah kepada seks bebas. Nah...kalau gaya pacarannya macam gini gimana dong, tentu saja hal ini dilarang dalam islam karena semua perbuatan diatas adalah merupakan hal-hal yang mendekati kepada perbuatan zina, bahkan sudah termasuk kategori zina. Yaitu zinanya mata dengan melihat, zinanya tangan dengan memegang serta bentuk-bentuk zina yang lainnya.


Lalu bagaimana dengan mereka yang pacaran untuk serius, maksudnya mereka pacaran dengan alasan untuk lebih mengenal pribadi masing masing agar supaya didapati kecocokan sehingga mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih lanjut yaitu pernikahan.


Kita lihat faktanya, banyak kok yang sudah pacaran bertahun-tahun sampai karatan ternyata pas sudah menikah ternyata pernikahannya cuman seumur jagung. Dan ada juga tuh pasangan yang nggak pakai pacaran tapi setelah menikah mereka malah bisa langgeng. Jadi efektif nggak sih....pacaran sebelum nikah dengan alasan supaya saling mengenal pribadi masing-masing.


Karena secara psikologis, kalau sudah saling cinta trus pacaran...yang ditampilkan didepan kekasihnya tentu saja cuman sekedar topeng belaka. Kalau di depan si dia saja, jadi alim banget atau jadi baik banget, atau jadi sok lembut dan penuh perhatian. Pas dulu waktu pacaran, kalau misalnya ceweknya lagi jalan trus kesandung si cowok pasti bilang :”hati-hati dong say...”, dan setelah menikah misalnya si istri pas jalan kesandung, yang keluar dari mulut si suami bukannya perhatian malah cacian :”matamu kamu taruh mana, nggak lihat apa kalau ada batu !!!!” ( hahaha..sadis banget ya..)


Itu salah satu contoh bentuk-bentuk kamuflase yang dilakukan oleh pasangan ketika masih pacaran, dan beda banget keadaannya ketika pasangan tersebut sudah menikah.


Jadi kesimpulannya pacaran selain dilarang oleh agama, ternyata bukan suatu cara yang efektif untuk menilai calon pasangan kita.
20.58 | 2 komentar | Read More

Siapakah Orang Yang Bangkrut Itu ?

Written By Ella on Selasa, 12 Oktober 2010 | 09.03

Kalau kita bicara soal bangkrut atau pailit, tentu kita mikirnya pasti orang yang hartanya habis atau orang kaya tiba-tiba jatuh miskin serta terlilit hutang. Memang bener sih, hal yang seperti kriteria diatas bisa dikatakan termasuk orang-orang yang bangkrut. Tapi secara hakikat yang sebenarnya dalam ajaran islam orang-orang yang bangkrut adalah seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis :




Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tahukah kalian siapa sebenarnya orang yang bangkrut?" Para sahabat menjawab, "Orang yang bangkrut menurut pandangan kami adalah seorang yang tidak memiliki dirham (uang) dan tidak mermliki harta benda". Kemudlan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat membawa pahala shalat, pahala puasa dan zakatnya, (tapi ketika hidup di dunia) dia mencaci orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain (secara bathil), menumpahkan darah orang lain (secara bathil) dan dia memukul orang lain, lalu dia diadili dengan cara kebaikannya dibagi-bagikan kepada orang ini dan kepada orang itu (yang pernah dia zhalimi). Sehingga apabila seluruh pahala amal kebaikannya telah habis, tapi masih ada orang yang menuntut kepadanya, maka dosa-dosa mereka (yang pernah dia zhalimi) ditimpakan kepadanya dan (pada akhirnya) dia dilemparkan ke dalam neraka." (Riwayat Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan lainnya)


Dari hadist diatas orang yang bangkrut atau pailit adalah mereka yang kelak di akhirat membawa pahala kebajikan namun ketika di dunia mereka juga suka berbuat dholim sehingga kelak diakhirat amal-amal kebajikannya akan dikurangkan untuk mengganti semua berbuatan dholim yang pernah dia lakukannya pada orang lain sehingga semua amalannya habis, dan jika semua amalannya sudah habis namun masih belum bisa menutupi  semua perbuatan dholim yang pernah dia lakukan maka dosa-dosa orang yang pernah dia dholimi akan dibebankan kepadanya sehingga dia di siksa di dalam neraka. (Naudhubillahimindhalik).
Semoga kita semua bukan termasuk orang-orang yang bangkrut amal kelak di akhirat nanti.




09.03 | 3 komentar | Read More

Dekonstruksi Aqidah ala Kaum Liberal

Written By Ella on Kamis, 07 Oktober 2010 | 08.09

Pada artikel ini saya akan mengulas sedikit mengenai wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaluddin Rachmat dari Bandung. Berikut kutipannya :


Djalaluddin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?


Jawaban Djalaluddin: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi, bukan mendekonstruksi.

Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Al-Qur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk.


Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.


Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al-Qur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersyukur ataupun tidak bersyukur);  lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersyukur, Aku akan tambahkan nikmat-Ku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azab-Ku amat pedih).


Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.


Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?


Djalaluddin Rahmat menjawab: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat. Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan.


Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya.
Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg, nggak bisa diingetin menurut Al-Qur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadits disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”




Kritisi :

Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Sekilas jika kita baca, tampaknya penjelasan diatas benar dan relevan dengan nash-nash Al-Qur'an, namun jika kita telaah lebih dalam kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu.


Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih.


Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, Al-Qur’an juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non-Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam.


Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.


Bahkan, Al-Qur’an juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.”


Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.”
Apalagi, dia katakan pula: “Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan non-muslim. Definisi kafir sebagai orang non-muslim hanya terjadi di Indonesia saja.”


Al-Qur’an yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Qur’an surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat itu ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar” (Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar). Karena, wanita- wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.


Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia, masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18 November 2002).”


Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindu bernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir.


Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar-pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Qur’an, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.


Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat.


Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah.
Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibrani disebut sebagai Messiah).


“Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Sementara, Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.


Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal.


Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas Islam tidak dibentuk oleh sejarah.

Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai institusi agama, Islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin akan hal ini.


Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat.


Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?


Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melayu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.


08.09 | 4 komentar | Read More
 
berita unik